Tokyo, almost a good city form

whatsapp-image-2017-01-19-at-23-22-50

Walk and see! Make picture. Kevin Lynch berkata demikian dalam the Image of the City (1960). Beliau menyarankan bahwa kita perlu membangun kedekatan kepada suatu kota untuk dapat memahaminya. Karena kota adalah suatu sistem yang dinamis. Berbeda-beda. Well, tentu saja, mudah dilihat, namun untuk memahami maksudnya, anda perlu berjalan-jalan, mengamati, taking notes/pictures.

Saya sedang membicarakan Tokyo disini. Tokyo adalah sebuah Kota yang hebat dengan penduduk dan tata kelola kota yang lebih hebat lagi. Tokyo adalah cerminan dari kota yang ideal dalam model Compact City (1973). Compact City dicerminkan dari model kota padat penduduk, namun memiliki transportasi publik yang efisien dan mendorong warganya untuk lebih banyak jalan kaki atau bersepeda. Dalam hal ini Tokyo berhasil melakukannya.

Namun Tokyo pada saat ini justru telah melebihi model ideal tersebut, sehingga tidak lagi nyaman. Compact city dapat dibayangkan sebagai sebuah kotak dimana semua fungsi dan fasilitas diatur sedemikian rupa sehingga “muat” didalamnya dengan sistem transportasi yang hebat. Namun bubble ekonomi dan tingginya arus wisatawan kepadatan penduduk Tokyo tidak lagi dapat dicerminkan angka statistik saat ini. Instead of making the growth center wider, they make the space smaller so it could hold more people. Terhadap padatnya penduduk di titik-titik konsenterasi, mereka justru beradaptasi atau berinovasi dengan membuat tempat layanan yang lebih kecil luasnya. Hotel kapsul, kantin makan sambil berdiri, apartemen sangat sempit, dsb. Mereka mengorbankan kenyamanan untuk dapat mengakomodasi peningkatan kepadatan.

Teori Proxemics (1963) menyatakan bahwa setiap manusia membutuhkan sekian luasan untuk dirinya sendiri (personal space), untuk keperluan sosial (social space) dll. Maksudnya untuk memberikan kenyamanan dan bebas dari gangguan. Pengaruhnya terhadap tingkat stress masih perlu dikaji, namun tentunya ada batasan daya dukung lingkungan terhadap kepadatan penduduk Tokyo ke depan.

Tokyo saat ini cukup makmur, mereka cukup listrik (terima kasih kepada PLTN mereka walau melahirkan Godzilla), cukup air, gas, dan makanan. Karena mereka kaya. Namun satu saat akan ada daya tampung yang terlampaui dan mengganggu sistem besar Tokyo sebagai Kota itu sendiri.

Saran saya, Pemerintah Tokyo sebaiknya mengurangi kepadatan pada titik-titik pertumbuhan dengan melempar satu atau dua fungsi yang ada di masing-masing titik tersebut ke daerah baru. Bisa juga menciptakan insentif bagi penduduk asli atau pendatang, untuk tinggal di luar pusat kepadatan yang menjadi masalah. Beri pengecualian kepada mereka yang memang harus ada disana untuk mengelola sistem kota untuk tetap tinggal. Atur dan batasi jumlah turis yang masuk misalnya dengan memindahkan hotel-hotel yang ada di pusat kepadatan ke wilayah luar, namun berikan akomodasi travel kereta bersubsidi.

Sebagai Otaku, Tokyo adalah kota yang menyenangkan, namun sebagai urban planner, saya kurang suka. Terlalu padat, walau dikelilingi ratusan orang, saya justru merasa kesepian.